Selasa, 03 Mei 2011

UANG VERSUS MORALITAS


Sebagian besar orang beranggapan bahwa uang adalah segala-galanya. Seolah-olah, tanpa uang, hidupnya mati, tak berasa, dan semacamnya. Intinya, tanpa uang, seolah-olah tidak bisa berbuat apa-apa. Misalnya saja, tanpa memiliki uang maka dirinya tidak bisa membeli  mobil, tidak bisa membangun rumah, tidak bisa sekolah, tidak bisa ini, tidak bisa itu, dan masih ada deretan panjang yang didahului kosa kata "tidak bisa".
Nyatanya begitu.

Berikut gambaran lain yang terkait dengan kehidupan. Ada orang (atau orang-orang) yang siang-malam-pagi-sore-senja-dini hari kerja keras memburu uang. Biar pun uang sudah berkelimpahan, tetap saja berburu dan berburu uang. Walaupun uangnya makin hari makin menggunung, tetap saja dia mencari dan terus mencari. Sampai-sampai jenis orang ini tidak sempat bertegur sapa dengan tetangga-sanak saudara-orang-orang sekitarnya. Sampai-sampai orang ini tidak tahu bahwa jumlah tetangganya berkurang karena kematian dan bertambah karena ada kelahiran. Tahunya adalah uang-uang-uang dan uang. Maka makin lama uangnya makin bertambah, hartanya makin melimpah, dan kemewahan duniawi pun teraih. Bahagia dia rasakan.
Nyatanya begitu.

Namun, satu pertanyaan ini perlu direnungi. Benarkah uang adalah segala-galanya? Tak perlu dijawab di sini, tetapi mari kita cermati uraian berikut. Ketika seseorang tiba-tiba sakit yang bersifat mendadak, misalnya strooke, atau jantung koroner. Atau ketika seseorang tiba-tiba mengalami kejadian tak terduga, mengalami kecelakaan tunggal di sebuah tempat yang sepi. Pertanyaannya, apakah uang (pasti) bisa menolong manusia dari kejadian-kejadian tak terduga seperti beberapa contoh itu? Jawabnya: belum tentu.
Nyatanya begitu.

Ada orang yang kaya raya, berlimpah harta, tiba-tiba kena serangan jantung. Segala upaya medis dilakukan, dan tetap saja tak tertolong. Kalau boleh memilih, selamat dari serangan jantung atau kehilangan seluruh uang dan hartanmya. Maka orang pasti memilih hal yang pertama. Nyawa tak bisa ditukar dengan uang atau pun harta.
Nyatanya begitu.

Ada contoh lain. Seseorang divonis terkena sakit dalam. Salah satu organnya mengalami pembengkakan. Secara medis, harus operasi. Namun orang ini tidak kuat menanggung biayanya karena memang miskin. Dia seorang pecinta alam. Pada saat itu, dia memberikan informasi penyakitnya kepada teman-teman sesama pecinta alam. Beberapa saat kemudian teman-teman berdatangan untuk memberikan berbagai macam jenis tumbuhan sebagai upaya mengobati penyakit lewat cara alami. Orang sekarang menyebutnya: pengobatan alternatif. Setelah melalui proses, orang itu sembuh dari penyakit pembengkakan salah satu organ dalamnya. Percaya atau tidak percaya dia sembuh tanpa pengobatan yang memakan banyak uang.
Nyatanya begitu.

Berdasar kenyataan yang kita amati setiap hari, saya ingin mengambil pemikiran bersifat madya (tengah). Artinya, uang memang kita butuhkan. Bahkan dalam saat-saat darurat, uang dangat kita butuhkan. Pada sisi lain, moralitas juga sangat kita butuhkan. Kenapa? Kalau  orang sudah kehilangan moralitasnya, maka dengan tenangnya dia bisa berbuat: mencari uang dengan jalan yang tidak halal, mengumpulkan uang dengan jalan korupsi, menumpuk harta dengan cara menipu, atau cara-cara sejenis. Percaya atau tidak percaya, uang hasil kejahatan, tidak akan bisa dimanfaatkan dengan semestinya. Bahkan harta yang dicapai dengan cara tidak halal, baik di akhirat atau pun di dunia, akan membuat yang bersangkutan celaka.
Nyatanya memang begitu.
Bumi Tegalan, 4 Mei 2011 [03:12 WIB]

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Foto: Screenshot uang
Sumber foto: https://www.google.com.sg/search?q=GAMBAR+UANG&ie=utf-8&oe=utf-8&client=firefox-b-ab&gfe_rd=cr&ei=m5uxWMrVAqvx8Aef_pzgDA

Senin, 02 Mei 2011

BELAJAR MENDIDIK DIRI PRIBADI

Banyak orang pandai berbicara. Apalagi kalau berbicara demi kepentingan pribadi! Banyak orang pintar ngomong. Apalagi kalau ngomongin tentang kebutuhannya sendiri. Dan..., pada akhirnya saya --mungkin kita-- tahu bahwa mayoritas manusia itu hanya mementingkan diri pribadi. Pada hakikatnya --ini menurut saya lho-- mayoritas manusia itu hanya mementingkan kebutuhannya sendiri. Bukan mementingkan kebutuhan orang lain. bukan mementingkan kepentingan umum. Apalagi mementingkan kepentingan bangsa dan/atau negara tempatnya dilahirkan!

Bersamaan dengan momen HARI PENDIDIKAN NASIONAL 2 MEI 2011, mari kita didik diri kita masing-masing untuk belajar, dan secepatnya mengurangi pementingan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Mari kita didik diri pribadi kita masing-masing untuk mementingkan bangsa dan negara tercinta ini di atas kepentingan pribadi, golongan, dan semacamnya. Supaya Indonesia ini dalam waktu yang secepat-cepatnya menjadi bangsa yang maju, makmur, dan sejahtera. Amin

Bumi Pertiwi - negeriku tercinta, Hardiknas 2011

Kamis, 07 April 2011

MENG-ADA APA ADANYA TANPA MENGADA-ADA

Sederhana: meng-ada apa adanya, tanpa mengada-ada. Sebuah jargon, prinsip hidup, atau bisa dikatakan semboyan hidup yang sederhana, bahkan sangat sederhana. Karena sederhananya, saya yakin, semua orang pasti bisa menjalankannya. Dengan prinsip hidup yang sederhana itu, orang akan merasa tenang hatinya, tenteram pikirannya, dan nyaman perasaannya dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana ini.

Meng-ada, menjadi ada, menjadi manusia apa adanya, memang mudah dalam dalam tataran teori, atau semboyan hidup. Namun ketika diterapkan, kadang-kadang tidak semudah itu. Godaan-godaan bersifat duniawi tidak terhindarkan. Gemerlap keduniawian menggoda mata, dan hati, juga pikiran untuk meraih sesuatu yang masih di awang-awang. Bahkan masih berada di atas langit sana yang sulit sekali dicapai dalam keadaan seperti yang dimiliki dan dijalani kini.


Kalau sudah begitu, manusia akan terjebak dalam tindakan mengada-ada. Tidak ada, diada-adakan. Mestinya belum perlu mobil sudah membeli mobil hanya karena tidak mau ketinggalan tetangganya yang beli mobil, sehingga mobil yang dibelinya hanya sebagai hiasan bagasi. Kenapa? Karena tidak kuat membeli BBM ketika ingin menggunakannya dalam keseharian. Karena tidak punya biaya perawatan mesin mobil yang rutin. Atau karena sebab lain yang tidak terpikirkan sebelumnya. Itu hanya contoh kecil.

Kalau seseorang mampu memenuhi kebutuhan sekunder berupa barang-barang mewah, silakan dipenuhi. Kalau tidak mampu..., kenapa mesti memaksakan diri? Kenapa mesti mengada-adakan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu diada-adakan karena tidak mampu?

Nah, akhirnya tetap saja kita kembali ke semboyan awal: menjalani hidup apa adanya. Tidak perlu memforsir diri sampai lupa daratan, sehingga mengawang-awang dan terjatuh dalam kesengsaraan. HIdup apa adanya akan menenangkan jiwa. Kalau jiwa tenang, maka jiwa terhindar dari sakit. Kalau jiwa tidak sakit, artinya jiwa itu sehat. Ketika jiwa sehat, manusia akan tetap menjadi manusia dalam menjalankan tugas kemanusiaannya tanpa melupakan hakikatnya sebagai manusia yang punya akal budi layaknya manusia.
Bumi Tegalan, 8 April 2011 ; 10.20 WIB
*****

Jumat, 01 April 2011

OPTIMIS DAN ETOS KERJA

Setiap usaha apa pun, pasti ada kendalanya. Kendala, masalah, atau permasalahan terkait dengan usaha yang dijalankan, mesti dihadapi dan diselesaikan.

Adanya hama wereng yang menyerang tanaman padi di wilayah Solo (Jawa Tengah) dan sekitarnya membuat para petani gagal panen secara bertubi-tubi. Bukan hanya satu kali gagal panen, tetapi berkali-kali. Para petani yang sebelumnya tidak perlu membeli beras karena persediaan beras dari hasil taninya, sekarang mesti membeli beras akibat gagal panen berkali-kali.

Saya melakukan pembicaraan dengan beberapa petani dari beberapa tempat berbeda, mereka memang mengeluh, tetapi mereka tetap setia pada pekerjaannya. Mereka akan tetap menanam padi. Ada himbauan (dalam bentuk surat edaran) dari seorang bupati untuk tidak menanam padi pada bulan Agustus untuk memutus  mata rantai kehidupan wereng agar di penanaman selanjutnya sudah terbebas dari hama itu. Sebagian petani sudah siap melaksanakan himbauan bupati. hanya saja, mereka pada bulan April ini tetap akan menana padi dengan sistem spekulasi. Mereka tidak akan memupuk dan memberikan pestisida pada tanamannya. Kalau untung ya bersyukur, kalau gagal, ya resiko. Kegagalan panen yang bertubi-tubi membuat mereka "kebal gagal". Artinya, mereka siap gagal, tetapi tetap optimis untuk bisa memetik hasil (walaupun spekulatif).

Belajar dari kenyataan itu, ternyata etos kerja yang tinggi, spirit kerja yang tinggi, bisa membuat kita selalu optimis, meskipun tetap berhitung bahwa dalam usaha apa pun tetap ada dua kemungkinan: gagal atau berhasil. Nah, kalau begitu, dalam menghadapi gonjang-ganjing ekonomi di jaman apa pun, kita memang harus selalu optimis. Kita tetap berupaya dan bekerja semaksimal mungkin. Gagal atau berhasil itu urusan nanti. Gagal itu resiko. Berthasil, itulah yang kita harapkan.