Jumat, 15 Februari 2013

ANAK SAYA MENGENAL WAYANG DARI NOVEL WAYANG


Sastra berbentuk novel memang dibutuhkan anak-anak, bahkan sejak dia berada pada jenjang pendidikan SD (Sekolah Dasar). Novel untuk anak-anak tentunya novel yang isinya berisi tentang anak-anak. Bahkan ada trend, novel anak-anak ditulis oleh anak-anak agar isinya meng-anak.

Namun, apakah harus demikian pada tataran praktiknya? Tidak. Fakta yang saya ungkap ini mungkin bisa dijadikan gambaran. 

Anak saya yang sekarang kelas 5 SD, sejak beberapa tahun lalu suka membaca. Beberapa karya saya, mulai dari cerita anak bergambar sampai novel anak, dia baca semua. Tentu saja, bukan hanya novel atau cerita fiksi karya bapaknya saja yang dia baca, tetapi  juga bacaan-bacaan "berat" milik kakaknya (yang sekarang telah kuliah), juga dia baca. Hal ini di luar konteks, dia "mudeng" atau tidak terhadap isi buku "berat" yang dibacanya.

Sekarang kita membahas tentang anak saya tersebut yang akhir-akhir ini membaca novel karya bapaknya berjudul "Amuk Wisanggeni." Anak SD membaca novel yang diperuntukkan umum, dalam arti minimal anak SMA dan masyarakat umum, mengingat isinya ada yang termasuk kateggori "berat" karena menyangkut berbagai segi kehidupan yang mungkin belum dia pahami.

Tapi bukan perdebatan boleh tidaknya anak SD membaca "Amuk Wisanggeni", tetapi aspek manfaatnya. Ketika ada pelajaran Bahasa Jawa di kelasnya, saat guru mengajarkan tentang tokoh-tokoh wayang, anak saya bisa "berbicara lancar" tentang tokoh-tokoh wayang dan berbagai peristiwa dalam wayang.

Semoga, dari pengalaman --atau kenyataan-- ini, para orang tua tahu bahwa untuk menanamkan budi pekerti kepada generasi muda bisa dilakukan dengan memberikan bacaan (berkarakter) kepada anak-anaknya. Dengan terbitnya novel-novel wayang, atau novel berlatar belakang sejarah, kita bisa menjaga kelestarian budaya bangsa Indonesia.

Tegalan, 16 Februari 2013