Rabu, 29 Maret 2017

MENJAGA RUTINITAS MENULIS


Kemarin saya membahas tentang toleransi, ini kali membahas tentang menulis. Dua hal itu sepertinya tak ada hubungannya. Tidak masalah, tapi yang penting tulisan ini semoga ada manfaatnya. Khususnya bagi sesama penulis atau pun Anda yang merintis dan ingin menjadi penulis (profesional).


Ciri khas dari seorang penulis adalah menulis dan mempunyai karya yang berbentuk tulisan. Penulis menulis. Penulis mempunyai karya yang berbentuk buku, atau bentuk karya tulis lainnya. Itu wajar-wajar saja. Namanya saja penulis.

Anda yang ingin menjadi penulis, atau merintis dalam dunia kepenulisan, tentu tidak asing lagi dengan seluk-beluk penulis dan segala pernak-perniknya. Ya..., penulis itu mendedikasikan dirinya untuk menghasilkan karya dalam bentuk tulisan.

Penulis profesinal, tentu mencurahkan segala kemampuannya untuk menulis. Dia mencurahkan segala waktunya untuk melakukan berbagai aktivitas yang ujungnya akan dibuat menjadi tulisan. Aktivitas yang dilakukan penulis sebagai bentuk upaya mencari bahan tulisan. Aktivitas apa saja akan memperkaya batin sang penulis, sehingga karya-karyanya berisi alias bermutu.

Hanya saja ada berbagai hal yang kadang-kadang menghadang penulis dalam upaya membangun dan menerapkan kreativitasnya. Malas menulis, jenuh menulis, atau kendala lain selalu membayang dan menghadang penulis. Untuk itulah, motivasi dari dalam diri penulis harus selalu ada dan dipelihara. Menulis secara rutin setiap hari harus selalu dilakukan seorang penulis.

Kejenuhan atau bentuk kendala lain sebagai penulis bisa disembuhkan dengan melakukan berbagai kegiatan yang antikejenuhan, misalnya jalan-jalan keluar kota. Sifat jenuh dan malas adalah sifat yang selalu membayangi semua orang. Tinggal masing-masing orang melakukan penanggulangan. 

Menjaga rutinitas menulis mudah dilakukan kalau motivasi menulis dari seorang penulis tetap terjaga. Keberadaan penulis yang sangat dibutuhkan bukan hanya pada saat ini, tetapi juga untuk masa yang akan datang, bisa menjadi dorongan penyemangat bagi seorang penulis. Yang dituis bukan hanya bermanfaat pada saat ini, tetapi juga pada masa yang akan datang.

Spirof Lengking, 29 Maret 2017 ; 21:39 WIB

*****

Selasa, 28 Maret 2017

TOLERANSI KOKOH MENUJU KEJAYAAN BANGSA

Adanya sikap intoleransi akhir-akhir ini membuat saya merasa sedih, miris, bergidik ngeri, dan merasa terteror secara psikologis. Ketakutan saat menonton film horor, thriller, atau pun action, tidak seberapa dibandingkan ketakutan saya --mungkin juga sebagian dari Anda-- terhadap sikap dan tindakan dari manusia-manusia tertentu yang dirinya merasa pasti benar, paling benar, dan tidak pernah merasa dalam melakukan segala tindakan.

Munculnya sikap, ucapan, dan tindakan radikal yang didasari intoleransi itulah yang mendorong saya untuk menulis tentang toleransi. Sebuah sikap yang dibenamkan ke otak kita sejak masih TK (Taman Kanak-kanak) sampai perguruan tinggi. Dalam benak saya, orang seluruh Indonesia yang pernah "makan sekolah", pasti mempunyai sikap toleran, jiwa toleran, dan tindakan yang toleran. Itu yang tertanam dalam hati saya, dalam jiwa saya. Namun kenyataannya...?

Sebelum membahas lebih lanjut, ada baiknya kita ingat-ingat lagi makna toleransi. Dalam Wikipedia.org toleransi bermakna membiarkan orang lain berpendapat lain, melakukan hal yang tidak sependapat dengan kita, tanpa kita ganggu ataupun intimidasi. Istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, di mana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya yang berbeda.

Kalau kita mau memahami dan menerapkan definisi toleransi tersebut, maka tidak akan terjadi tindakan intoleransi yang membuat pihak lain ketakutan karena diintimidasi. Jika kita bersikap toleran terhadao orang lain, maka tidak akan terjadi suatu kelompok masyarakat merasa terancam keamanannya karena berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Apabila seluruh manusia mau toleran terhadap manusia lainnya, maka tidak akan ada perang antarmanusia hanya karena suatu perbedaan.

Perbedaan adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak. Manusia yang satu pasti berbeda dengan yang lainnya. Meskipun dua orang manusia lahir dalam keadaan kembar sekalipun, pasti keduanya ada perbedaannya. Pernikahan antarmanusia terjadi karena adanya perbedaan. Secara normatif, suami dan istri itu berbeda. Suami adalah laki-laki dan istri adalah perempuan. Orang tua dan anak itu berbeda. Baik berbeda usia, juga berbeda peran, meliputi hak, kewajiban, dan sikap dalam kehidupan sehari-hari.

Perbedaan membuat manusia saling memperkuat, bukan saling menghancurkan. Perbedaan membuat manusia untuk bekersama yang saling menguntungkan, bukan saling memusnahkan. Dan, perbedaan itu adalah takdir Tuhan yang mesti kita terima. Sikap toleransi terjadi karena adanya perbedaan di antara kita. Tindakan yang toleran membuat manusia saling menghargai. Sedangkan sikap intoleran bisa berujung pemusnahan sekelompok manusia terhadap kelompok manusia lainnya.

Indonesia negara yang di dalamnya terdiri dari berbagai suku, agama, ras, golongan, budaya, kesenian, kekayaan alam dan keanekaragaman lainnya. Kalau kita mampu memanfaatkan keanekaragaman tersebut dengan baik, maka akan tersusun kekuatan dan kehebatan yang tidak dimiliki negara mana pun di dunia. Kekuatan tersebut didayagunakan untuk membangun negara, sehingga Indonesia akan mencapai kejayaan.
 Tegalan, 28 Maret 2017
 *****
_________________________________________________________________________________
Sumber foto: https://rumaysho.com/wp-content/uploads/2013/12/toleransi.jpg_tanggal28032017