Senin, 02 Desember 2013

SUWITO SARJONO DAN GESTA BAYUADHY



Sesuai judul di atas, saya akan membuka berbagai hal yang terkait diri saya. Tujuannya jelas, biar para pembaca yang budiman dan benar-benar berbudi pekerti luhur makin mengenal saya.
Saya..., nama di KTP: SUWITO, S.PD, nama di akta: SUWITO, nama yang tertera dalam berbagai macam karya fiksi saya adalah: SUWITO SARJONO. Karya novel yang 'masih' menggunakan nama Suwito Sarjono antara lain AMUK WISANGGENI dan MUSNAHNYA SENGKUNI. Lalu sejak novel TOGOG TEJAMANTRI, ABIMANYU-TUJUH HELAI DAUN TARSANDHA, dan seterusnya, Penerbit Divapress (atas persetujuan saya tentunya) mencantumkan nama GESTA BAYUADHY.

GESTA BAYUADHY adalah SUWITO SARJONO.

SUWITO SARJONO adalah GESTA BAYUADHY.

Sekian dulu....





Sabtu, 20 April 2013

POLITISI PEREMPUAN MAKIN EKSIS



Reformasi membuka kran kebebasan di Indonesia. Era reformasi membuka kesempatan kepada siapa pun untuk berekspresi semau hati. Tak terkecuali dalam dunia politik, termasuk para politisi.

Ketika awal reformasi, para aktivis perempuan berjuang dari berbagai lini untuk memperjuangkan perempuan suaya bisa menduduki jabatan-jabatan strategis di dalam pemerintahan dan legislatif. Maka lahirlah berbagai kebijakan yang memberikan perempuan lebih leluasa duduk di DPR maupun dalam pemerintahan. Sejak saat itu pula makin banyak perempuan yang menjadi anggota DPR, baik DPRD maupun DPR RI. Suara perempuan makin didengar. Perempuan makin eksis sebagai politisi.

Kesempatan perempuan menjadi politisi kentara sekali dari peraturan yang mewajibkan partai memberikan kuota 30 % (1/3) dari calon wakil rakyat yang diikutsertakan dalam pilcaleg (pemilihan calon anggota legislatif). Dengan adanya peraturan ini, terbuka kesempatan luas bagi  perempuan untuk tampil ke massa. Tampil sebagai anggota DPR, wakil rakyat di parlemen.

Berbagai tentu saja ada dalam perjalanan pewajiban bagi partai untuk memasang calon wakil rakyat dalam daftar caleg pada even pilcaleg. Kendala itu biasanya terkait SDM (sumber daya manusia) calon legislatif (caleg) perempuan. Memang, banyak perempuan yang punya SDM tinggi, tetapi kurang tertarik terjun ke dunia politik. Maka berbagai jalan pintas diambil oleh partai. Mulai dari perekrutan artis perempuan sampai istri pejabat. Ada yang tepat dalam perekrutan, tapi ada juga yang asal comot demi memenuhi kuota tersebut.

Apa pun kendala yang ada, semoga politis perempuan makin eksis dalam memperjuangkan rakyat, sehingga terbebas dari jeratan kemiskinan dan kebodohan....
Tegalan, 21 April 2013

Foto: Rismaharini
Sumber foto: http://republikmanusia.com/wp-content/uploads/2014/02/risma-8.jpg

Jumat, 15 Februari 2013

ANAK SAYA MENGENAL WAYANG DARI NOVEL WAYANG


Sastra berbentuk novel memang dibutuhkan anak-anak, bahkan sejak dia berada pada jenjang pendidikan SD (Sekolah Dasar). Novel untuk anak-anak tentunya novel yang isinya berisi tentang anak-anak. Bahkan ada trend, novel anak-anak ditulis oleh anak-anak agar isinya meng-anak.

Namun, apakah harus demikian pada tataran praktiknya? Tidak. Fakta yang saya ungkap ini mungkin bisa dijadikan gambaran. 

Anak saya yang sekarang kelas 5 SD, sejak beberapa tahun lalu suka membaca. Beberapa karya saya, mulai dari cerita anak bergambar sampai novel anak, dia baca semua. Tentu saja, bukan hanya novel atau cerita fiksi karya bapaknya saja yang dia baca, tetapi  juga bacaan-bacaan "berat" milik kakaknya (yang sekarang telah kuliah), juga dia baca. Hal ini di luar konteks, dia "mudeng" atau tidak terhadap isi buku "berat" yang dibacanya.

Sekarang kita membahas tentang anak saya tersebut yang akhir-akhir ini membaca novel karya bapaknya berjudul "Amuk Wisanggeni." Anak SD membaca novel yang diperuntukkan umum, dalam arti minimal anak SMA dan masyarakat umum, mengingat isinya ada yang termasuk kateggori "berat" karena menyangkut berbagai segi kehidupan yang mungkin belum dia pahami.

Tapi bukan perdebatan boleh tidaknya anak SD membaca "Amuk Wisanggeni", tetapi aspek manfaatnya. Ketika ada pelajaran Bahasa Jawa di kelasnya, saat guru mengajarkan tentang tokoh-tokoh wayang, anak saya bisa "berbicara lancar" tentang tokoh-tokoh wayang dan berbagai peristiwa dalam wayang.

Semoga, dari pengalaman --atau kenyataan-- ini, para orang tua tahu bahwa untuk menanamkan budi pekerti kepada generasi muda bisa dilakukan dengan memberikan bacaan (berkarakter) kepada anak-anaknya. Dengan terbitnya novel-novel wayang, atau novel berlatar belakang sejarah, kita bisa menjaga kelestarian budaya bangsa Indonesia.

Tegalan, 16 Februari 2013