Kamis, 07 April 2011

MENG-ADA APA ADANYA TANPA MENGADA-ADA

Sederhana: meng-ada apa adanya, tanpa mengada-ada. Sebuah jargon, prinsip hidup, atau bisa dikatakan semboyan hidup yang sederhana, bahkan sangat sederhana. Karena sederhananya, saya yakin, semua orang pasti bisa menjalankannya. Dengan prinsip hidup yang sederhana itu, orang akan merasa tenang hatinya, tenteram pikirannya, dan nyaman perasaannya dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana ini.

Meng-ada, menjadi ada, menjadi manusia apa adanya, memang mudah dalam dalam tataran teori, atau semboyan hidup. Namun ketika diterapkan, kadang-kadang tidak semudah itu. Godaan-godaan bersifat duniawi tidak terhindarkan. Gemerlap keduniawian menggoda mata, dan hati, juga pikiran untuk meraih sesuatu yang masih di awang-awang. Bahkan masih berada di atas langit sana yang sulit sekali dicapai dalam keadaan seperti yang dimiliki dan dijalani kini.


Kalau sudah begitu, manusia akan terjebak dalam tindakan mengada-ada. Tidak ada, diada-adakan. Mestinya belum perlu mobil sudah membeli mobil hanya karena tidak mau ketinggalan tetangganya yang beli mobil, sehingga mobil yang dibelinya hanya sebagai hiasan bagasi. Kenapa? Karena tidak kuat membeli BBM ketika ingin menggunakannya dalam keseharian. Karena tidak punya biaya perawatan mesin mobil yang rutin. Atau karena sebab lain yang tidak terpikirkan sebelumnya. Itu hanya contoh kecil.

Kalau seseorang mampu memenuhi kebutuhan sekunder berupa barang-barang mewah, silakan dipenuhi. Kalau tidak mampu..., kenapa mesti memaksakan diri? Kenapa mesti mengada-adakan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu diada-adakan karena tidak mampu?

Nah, akhirnya tetap saja kita kembali ke semboyan awal: menjalani hidup apa adanya. Tidak perlu memforsir diri sampai lupa daratan, sehingga mengawang-awang dan terjatuh dalam kesengsaraan. HIdup apa adanya akan menenangkan jiwa. Kalau jiwa tenang, maka jiwa terhindar dari sakit. Kalau jiwa tidak sakit, artinya jiwa itu sehat. Ketika jiwa sehat, manusia akan tetap menjadi manusia dalam menjalankan tugas kemanusiaannya tanpa melupakan hakikatnya sebagai manusia yang punya akal budi layaknya manusia.
Bumi Tegalan, 8 April 2011 ; 10.20 WIB
*****

Jumat, 01 April 2011

OPTIMIS DAN ETOS KERJA

Setiap usaha apa pun, pasti ada kendalanya. Kendala, masalah, atau permasalahan terkait dengan usaha yang dijalankan, mesti dihadapi dan diselesaikan.

Adanya hama wereng yang menyerang tanaman padi di wilayah Solo (Jawa Tengah) dan sekitarnya membuat para petani gagal panen secara bertubi-tubi. Bukan hanya satu kali gagal panen, tetapi berkali-kali. Para petani yang sebelumnya tidak perlu membeli beras karena persediaan beras dari hasil taninya, sekarang mesti membeli beras akibat gagal panen berkali-kali.

Saya melakukan pembicaraan dengan beberapa petani dari beberapa tempat berbeda, mereka memang mengeluh, tetapi mereka tetap setia pada pekerjaannya. Mereka akan tetap menanam padi. Ada himbauan (dalam bentuk surat edaran) dari seorang bupati untuk tidak menanam padi pada bulan Agustus untuk memutus  mata rantai kehidupan wereng agar di penanaman selanjutnya sudah terbebas dari hama itu. Sebagian petani sudah siap melaksanakan himbauan bupati. hanya saja, mereka pada bulan April ini tetap akan menana padi dengan sistem spekulasi. Mereka tidak akan memupuk dan memberikan pestisida pada tanamannya. Kalau untung ya bersyukur, kalau gagal, ya resiko. Kegagalan panen yang bertubi-tubi membuat mereka "kebal gagal". Artinya, mereka siap gagal, tetapi tetap optimis untuk bisa memetik hasil (walaupun spekulatif).

Belajar dari kenyataan itu, ternyata etos kerja yang tinggi, spirit kerja yang tinggi, bisa membuat kita selalu optimis, meskipun tetap berhitung bahwa dalam usaha apa pun tetap ada dua kemungkinan: gagal atau berhasil. Nah, kalau begitu, dalam menghadapi gonjang-ganjing ekonomi di jaman apa pun, kita memang harus selalu optimis. Kita tetap berupaya dan bekerja semaksimal mungkin. Gagal atau berhasil itu urusan nanti. Gagal itu resiko. Berthasil, itulah yang kita harapkan.